Politik


SBY-Boediono Mundur, Kompensasi Kematian Ruyati


JAKARTA - Kasus tewasnya Ruyati di Arab Saudi dinilai murni akibat kesalahan pemerintah dan cermin dari “kesempurnaan” pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengabaikan perintah Konstitusi.


Kata Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi, dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak boleh diubah-ubah itu, dijelaskan tujuan didirikannya Pemerintahan Negara Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.

“Kenyataannya, Ruyati dan para TKI lain yang terpidana di LN tidak mendapat perlindungan negara. Ruyati dan para TKI lainnya di LN harus berjuang sendiri untuk mencapai kesejahteraannya,” ungkap Adhie dalam keterangannya kepada okezone, Selasa (21/6/2011).

Ruyati, kata dia, berpendidikan sangat rendah sehingga hanya bisa bekerja sebagai PRT. Sementara pemerintah tidak berbuat apa-apa melihat Pemerintah Arab Saudi melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negara asing di negaranya.

“Sudah cukup banyak rezim ini melakukan pelanggaran konstitusi secara parsial. Tapi kita cenderung memaafkan,” paparnya.

“Oleh sebab itu, agar tidak menjadi preseden buruk bagi pemerintahan di masa mendatang, kami menyerukan dengan keras agar Presiden Susilo Bambang Yudjoyono dan Wapres Boediono legowo untuk mundur, karena terbukti tidak mampu menjalankan amanat konstitusi (rakyat),” imbuhnya.

Atas seruan itu, Adhie juga mengajak DPR, DPD, MK, MA, BPK, KPK, KY, PBNU, dan Muhammadiyah, untuk segera berkumpul dan menyatakan hal yang sama.

Mantan Presiden Tunisia Divonis Penjara 35 Tahun




TUNIS - Pengadilan Tunisia menjatuhkan hukuman penjara kepada mantan Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali selama 35 tahun. Vonis dijatuhkan setelah dirinya dilengserkan secara paksa 6 bulan lalu.

Vonis ini diambil secara in absentia mengingat Ben Ali berada di Arab Saudi sejak dilengserkan. Ben Ali dinyatakan bersalah atas tuduhan pencurian dan memiliki perhisaan serta sejumlah besar uang yang diperkirakan dari hasil korupsi.

Vonis serupa juga diputuskan kepada Istrinya Leila Trabelsi yang juga dalam pelarian dengan Ben Ali. Mantan penata rambut tersebut dikenal dengan gaya hidupnya yang mewah dan menjadi simbol korupsi dari Pemerintahan Ben Ali. 

Ben Ali dan istrinya terbang ke Arab Saudi pada 14 Januari setelah terjadi protes massal menentang 23 tahun pemerintahannya. Pada Februari lalu, Pemerintah Tunisia meminta Arab Saudi untuk mengekstradisi Ben Ali. 
Selama berkuasa, rakyat menyaksikan Ben Ali memperkaya diri bersama keluarganya. Sementara pihak keamanan dikerahkan untuk menangkap siapapun yang menangkapnya.

Rakyat Tunisia menyambut senang atas keputusan ini. "Setelah 23 tahun, dia (Ben Ali) memanipulasi pengadilan. Hari ini keputusan yang adil telah kembali. Ini adalah hari yang membahagiakan," ungkap Meriam, perempuan yang kakaknya ditahan tanpa sebab saat pemerintahan Ben Ali, seperti dikutip Reuters, Selasa (21/6/2011).

Hakim Touhami Hafian yang membaca vonis di Pengadilan pusat Tunisia, juga memerintahkan Ben Ali dan istrinya membayar uang sejumlah 91 juta dinar Tunisia atau sekira Rp569 miliar (Rp6,261 per dinar Tunisia).  juga memutuskan keduanya bersalah dalam kepemilikan narkoba dan senjata.

Wakil Ketua DPR Serukan Anggota DPR Tak Lagi Rapat di Hotel 
Adi Nugroho - detikNews
 Jakarta - Tidak sedikit rapat-rapat badan kelengkapan DPR digelar di hotel berbintang. Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso menyerukan agar tidak ada lagi rapat-rapat DPR yang diselenggarakan di hotel sebab ruang rapat di Gedung DPR masih sangat layak.

"Saya serukan untuk gunakan fasilitas di Gedung DPR, tidak perlu di hotel," ujar Priyo kepada detikcom, Kamis (9/6/2011).

Menurut politisi dari Golkar tersebut, fasilitas di Gedung DPR masih layak untuk digunakan sebagai ruang rapat. Anggota DPR diminta untuk tidak melakukan rapat di luar meski diundang pihak tertentu.

"Tidak perlu di hotel meski diundang pemerintah," kata Priyo yang juga ketua DPP Golkar ini.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada Senin (6/6/2011), Panja RUU BPJS menggelar rapat selama 3 hari di hotel Intercontinental, Karet Jakarta. Wartawan dan aktivis LSM yang memanatu jalannya pembahasan RUU tersebut dilarang memasuki ruang rapat di hotel mewah tersebut.

Hari ini giliran Panja RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Komisi XI DPR yang menggelar rapat di hotel mewah Aryaduta di Menteng, Jakarta Pusat. Rapat ini digelar untuk finalisasi UU OJK. Padahal materi yang dibahas hanya untuk menyelesaikan satu pasal mengenai komposisi Dewan Komisioner saja.

"Panja OJK tinggal 1 pasal mengenai Dewan Komisioner saja. Nanti malam kita rapat di Hotel Aryaduta Patung Tani pukul 19.00 WIB. Kita tidak menginap, juga tidak tahu biayanya," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achsanul Qosasi, kepada detikcom, Kamis (9/6/2011).

(adi/lh)